Tanggal 08 September 1875, kongregasi misi Societas Verbi Divini (Serikat Sabda Allah) yang dikenal dengan nama SVD didirikan oleh Arnoldus Janssen di Steyl, Belanda. Kerinduan Arnold Janssen ialah mengirimkan misionaris-misionaris dari Eropa (khususnya Jerman untuk bekerja di seluruh dunia). Perjuangan penuh kepahitan itu - yang bahkan oleh sejumlah pembesar gereja setempat dianggap sebagai kegilaan - perlahan-lahan mem-buahkan hasil yang menggembirakan. Sejak Yosef Freinademetz dan Yohanes Batista Anzer dikirim ke Tiongkok, sampai dengan saat sudah ribuan misionaris SVD yang menyebar ke seluruh dunia dan bekerja di lebih dari lima puluh negara. Sebagai contoh, dari Indonesia saja tercatat ratusan misionaris yang bekerja di lima benua dalam berbagai bentuk pelayanan seperti karya pastoral, karya di tengah kaum minoritas, pendidikan, dll. Keberhasilan yang demikian besar ini antara lain berkat kejelian Arnoldus Janssen di dalam mempromosikan gerakan pengiriman misionaris. Media yang paling efektif untuk Arnoldus Janssen saat itu adalah lembaran berita (semacam warkat paroki) untuk meng-gugah semangat kaum muda Jerman pada khususnya, agar mau bergabung dengan serikat misi yang didirikannya. Dalam uraian berikut akan sedikit ditampilkan legasi semangat pendiri tersebut dan tanggapan SVD di era modern ini.3.1. Legasi: semangat pendiri SVD - Arnold Janssen. Catatan historis dalam sejarah Serikat Sabda Allah menunjukkan, bahwa Arnoldus Janssen sangat menyadari efektivitas penyebaran informasi tentang misi lewat media cetak. Dalam upaya menyebarkan ide-idenya tentang pembentukan serikat misi, ia menerbitkan buletin "Der Kleine Herz Jesu Botte", Januari 1874. Selain itu, tahun 1878, diterbitkan "Stadt Gottes", majalah keluarga Katolik, yang masih bertahan hingga hari ini. Gerakan serupa juga dipromosikan di Techny Amerika Serikat, China, Jepang, Filipina, Ghana dan Zaire (Eilers, 1994: 259-261), Spanyol dan tentu saja di Flores, Indonesia.
Efektivitas penggunaan media untuk menggalang dukungan awam Katolik, baik dalam bentuk sumbangan dana maupun dalam partisipasi langsung misi perintis sungguh terasa. Kasus Uskup Noser dari Papua New Guinea dapat menjadi contoh. Di tahun 1956, ia menulis artikel dalam Stadt Gottes untuk mengajak kaum awam agar turut berpartisipasi di dalam karya misi di Papua New Guinea sebagai petani, ahli mesin, guru, tenaga medis dan sebagainya. Artikel ini mengundang kritikan dari kalangan internal SVD tetapi telah merangsang banyak orang awam untuk terjun terlibat di dalam karya misi perintis, bukan sebagai asisten misionaris biarawan tetapi sungguh-sungguh sebagai rasul awam. Tujuh belas orang menjadi pemula dari satu deretan panjang para kerabat awam yang sangat besar peranannya dalam menunjang misi SVD (Bornemann, 1981: 100-101).
Ternyata terbitan-terbitan ini menjadi jiwa rumah misi di Steyl bahkan menjadi semacam trade-mark bagi serikat ini. Bahkan dalam nada guyonan, kepanjangan SVD justru diplesetkan dari Societas Verbi Divini menjadi Sie Vertreiben Druchsachen, dan ketika sudah banyak uangnya diplesetkan menjadi Sie Vertreiben Deutchmark. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sejak awal semangat menggunakan sistem dan sarana komunikasi yang up to date sangat diperhatikan oleh pendiri serikat misi ini.
3.2. Semangat 1985: komunikasi serius diperhatikan. Perjalanan sejarah yang panjang itu mendapat perhatian khusus di dekade 1980-an. Tahun 1985 diadakan satu pertemuan para pakar komunikasi serikat di Nemi, Italia. Dalam pertemuan tersebut disepakati untuk memasukkan entry pelatihan keahlian komunikasi bagi setiap anggota SVD. Kurikulum yang dirancang itu cukup komprehensif dan sangat memperhatikan pelatihan komunikasi yang mencakupi semua aspek kehidupan misioner, yakni komunikasi antar persona, komunikasi massa, media massa (cetak dan elektronik), komunikasi antar kebudayaan serta komunikasi misioner yang mencakupi studi dokumen-dokumen Gereja, teologi komunikasi, inkulturasi dan komunikasi sebagai media evangel-isasi (Eilers, 1994: 281-282).
Maksud dari pencetusan ide tersebut adalah: (a) mengintegrasikan pendidikan komu-nikasi ke dalam program formasi, (b) menyelenggarakan kursus-kursus singkat komunikasi, (c) menyelenggarakan pengajaran yang terintegrasi dengan bidang lain misal-nya kalau berbicara tentang etika komunikasi seorang moralis dapati diundang untuk berperan serta, (d) mendorong keterlibatan di dalam pelatihan komunikasi non SVD, (e) menekankan pentingnya komunikasi dalam pelatihan para misionaris sehingga topik ini dapat menjadi fokus perhatian pada saat-saat tertentu seperti pada Hari Komunikasi Sedunia (World Communication Day), (f) mendorong para pakar untuk menyusun modul dan materi pendukung pengajaran seperti foto, slide, kaset suara, video kaset, dll; dan (g) mengirim orang-orang yang mampu dan berminat untuk studi khusus komunikasi (Eilers, 1994: 280).
Semangat 1985 tersebut menjadi satu tonggak penting penekanan komunikasi sebagai satu bagian esensial dari kehidupan serikat. Pertama, melegitimasi karya-karya komunikasi yang telah dijalankan sejak didirikannya serikat, sekaligus sebagai apresiasi atas kontribusi yang tidak sedikit bagi hidup serikat dalam berbagai aspeknya. Kedua, menjadi referensi untuk formasi misionaris, baik di level basic formation maupun ongoing formation bagi semua anggota serikat. Dengan demikian, Serikat tidak memposisikan diri sebagai oposan perkembangan sistem komunikasi global tetapi justru mengintegrasikan diri di dalamnya. Bahaya teralienasi dari perubahan sosial dapat dihindari.
3.3. Kapitel 2000: komunikasi menjadi "matra khas". Buah dari perjalanan panjang refleksi-refleksi tersebut adalah ditetapkannya komunikasi sebagai salah satu dari empat matra khas (characteristic dimension) dalam Kapitel Jendral XV, Juni-Juli 2000 yang lalu (SVD General Chapter, 2000: 37). Dalam forum tertinggi serikat ini, para utusan SVD sejagad mengangkat komunikasi sebagai satu elemen hakiki yang dengan seharusnya melekat di dalam diri setiap anggota SVD, apapun tugas dan pelayanannya. Di sini terjadi satu peralihan arti yang sangat krusial.
4. Komunikasi sebagai matra khas SVD.
Untuk bisa menjelaskan tempat komunikasi sebagai salah satu matra khas anggota SVD, baiklah dijelaskan secara singkat matra-matra khas tersebut.
4.1. Catur matra khas SVD. Dengan berpijak pada Konstitusi SVD, para kapitularis mengangkat empat unsur penting yang menjadi matra-matra khas. Keempat unsur tersebut adalah (a) Kerasulan Kitab Suci, (b) Animasi Misi, (c) Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, dan (d) Komunikasi. Catatan khusus yang harus diperhatikan di sini ialah, dengan menyebut matra khas tersebut, referensi kita tidaklah mengacu kepada bidang-bidang karya tetapi kepada dimensi atau ukuran yang menjadi titik acuan bagi pembentukan seorang misionaris SVD. Untuk menegaskan hal tersebut, Kapitel menegaskan, bahwa matra-matra khas itu mendorong kita untuk memperdalam Sabda Biblis (Biblical Word) yang tertera di dalam Kitab Suci, mewartakan Sabda Animatis (Animating Word), berpasrah pada Sabda Profetis (Prophetic Word) yang mewartakan kebenaran, keadilan dan transformasi alam ciptaan, serta membagi Sabda Komunikatif (Communicating Word) yang hanya mencapai pemenuhannya dalam ungkapan cinta yang mendalam. (SVD General Chapter, 2000: 37).
4.2. Catur bidang dialog. Matra-matra khas tersebut terkait erat dengan empat bidang dialog yang menjadi titik perhatian SVD ke masa depan. Kapitel mengelompokkan bentuk-bentuk dialog ke dalam empat tema besar, yakni: (a) dialog dengan kaum tak beriman dan para pencari iman, (b) dialog dengan kaum miskin dan marjinal, (c) dialog dengan orang yang berbudaya lain, dan (d) dialog dengan orang yang beragama lain serta ideologi-ideologi sekular (SVD General Chapter, 2000: 32-36). Untuk bisa berdialog dengan orang-orang dari empat kategori tersebut, seorang misionaris dituntut untuk:
- a) Memiliki "relasi personal" dengan Sang Sabda, karena itu menjadi basis iman yang benar dan kokoh untuk bisa mewartakan keselamatan kepada dunia. Bentuk konkrit sangatlah sederhana: Bagaimana seorang dapat berkotbah tentang Kristus tanpa pernah mendalami Kitab Suci?
- b) Hidup teranimasi oleh Sang Sabda sehingga orang menjalankan tugas pewartaan dengan bertolak dari pengalaman nyata dan tidak sekedar menyandarkan diri pada pemikiran-pemikiran teoretis belaka.
- c) Teguh berpegang pada komitmen Sang Sabda yang solider dengan kaum yang ter-alienasi dari kehidupan normal. Di sini dialog dengan kaum miskin dan marjinal mendapat legitimasi yang paling dalam.
- d) Tahu mengkomunikasikan Sang Sabda kepada pihak-pihak lain yang tidak sejalan dengan kita, dengan cara-cara yang dapat diterima oleh mereka. Di sini keahlian di dalam berkomunikasi mendapat tempat yang sangat penting.
- Pengetahuan dasar komunikasi dalam seluruh ruang lingkupnya. menjadi satu kebutuhan bagi setiap misionaris. Selama ini pendidikan dan pengajaran komuni-kasi menjadi satu program aksidental atau sekedar mengisi waktu kosong. Untuk masa depan, materi ini perlu lebih serius ditempatkan di dalam proses pendidikan dan pengajaran para calon misionaris, baik dalam bentuk kuliah-kuliah formal maupun pelatihan-pelatihan praktis berkomunikasi. Dasar yang baik akan menjadi landasan yang kokoh untuk refleksi lanjut.
- Pembaharuan konseptual tentang arti komunikasi. Kebanyakan orang langsung membayangkan radio, televisi, penerbitan jurnal dan sebagainya kalau ada diskusi tentang komunikasi. Pendek kata yang dipikirkan ialah metode atau sarana-sarana penunjang karya misi. Dengan adanya arti baru di atas, konsep ini perlu ditransfor-masi. Komunikasi tidak boleh lagi terbatas pada "sekedar metode" tetapi harus berubah menjadi satu mentalitas yang mewarnai pola hidup misioner seseorang. Mentalitas yang tercermin dalam bentuk keterbukaan terhadap mitra-mitra dialog dan menggunakan cara-cara yang dapat diterima mereka untuk meneruskan pesan-pesan keselamatan.
- Hidup berakar pada Sang Komunikator sejati yakni Sang Sabda inkarnatif. Kristus adalah model yang paling radikal dari komunikasi diri Allah kepada umat manusia, yakni satu pertemuan antara Allah yang agung dan manusia yang malang. Penerus-an karya Kristus oleh para rasul dan semua orang dibaptis membuat karya misi menjadi satu bentuk penerusan komunikasi diri Allah kepada dunia. Seorang komunikator misioner hanya akan dapat meneruskan komunikasi diri Allah itu andaikata ia mengalami sendiri hidup "bersama" dengan Sang Komunikator sejati. Menanggapi gerakan perubahan konsep komunikasi di dalam trend perubahan misi SVD masa kini, proposal dasar yang dapat diajukan di sini adalah perlunya satu "passing-over" konsepsional dan praktis di bidang komunikasi ini, sehingga misionaris masa kini tidak terjebak dalam prototipe komunikasi yang dipahami oleh komunitas-komunitas sosial pada umumnya tetapi telah diperkaya oleh dimensi baru yang dijabarkan di atas.
Penawaran konsep di atas bukan merupakan satu pemikiran baku yang harus dijalan-kan melainkan lebih merupakan satu kertas kerja untuk diskusi lebih lanjut. Kendatipun demikian, melihat gerak perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, kesadaran akan pentingnya mengambil bagian di dalamnya perlu terus disuarakan. Sejalan dengan seruan Konperensi Wali Gereja Indonesia (KWI) beberapa minggu yang lalu untuk melihat pentingnya peranan media komunikasi di dalam karya kerasulan, kiranya dari tempat ini bertumbuh pula kerinduan untuk melibatkan diri di dalam pengembangan bidang komunikasi, tidak semata-mata sebagai seorang praktisi komunikasi tetapi terutama sebagai pribadi misioner yang bermental komunikatif. Semoga dari sini, Imam-Imam baru tumbuh subur untuk memenuhi semua panggilan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar